22 Tokoh Pahlawan Nasional Perjuangan Indonesia

kangizal.com - Indonesia mencapai kemerdekaan pada tahun 1945 tidaklah diraih dengan mudah. Banyak pengorbanan dan perjuangan yang telah dilewati oleh para pejuang tanah air, yang mana para pahlawan negeri harus bersusah payah dengan segala pengorbanan jiwa raga sampai titik darah penghabisan dalam melawan para penjajah yang ingin menguasai tanah air ini.

Tokoh Pahlawan Nasional - 22 Tokoh Pahlawan Nasional Perjuangan Indonesia - kangizal.com

Memang perjuangan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia tentu tidak lepas dari jasa-jasa pahlawan yang bersuka rela tanpa pamrih serta penuh tanggung jawab. Para pahlawan di seluruh penjuru negeri dan pelosok, semua memimpin gerakan perlawanan dari para penjajah. Berkat jasa para pahlawan, mereka pantas diberikan gelar Pahlawan Nasional dan Pahlawan Perjuangan. Pahlawan kemerdekaan yang gigih berjuang melawan penjajah tanpa ada rasa takut sedikit pun.

Tidak sedikit dari para pahlawan, mereka berasal dari rakyat kurang mampu, dari berbagai latar belakang, tokoh-tokoh penting, tokoh masyarakat dan dari berbagai kalangan. Berikut ini akan saya bagikan beberapa nama pahlawan nasional dan pahlawan perjuangan Indonesia yang harus kamu ketahui. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah negerinya. Nama Pahlawan Nasional Indonesia yang saya bagikan ini berisi penjelasan beserta sejarahnya mereka bisa menjadi pejuang, dari lahir hingga gugur, baik gugur di medan perang maupun gugur karena perjuangan melawan penyakitnya

Daftar pahlawan nasional Indonesia atau nama Pahlawan Nasional yang berpengaruh dalam sejarah di bawah ini hanyalah beberapa saja, karena masih banyak lagi nama para pahlawan yang tidak tertulis dalam postingan ini. Karena negeri ini sangatlah luas, maka bisa dipastikan jumlah pahlawan sangat banyak diberbagai penjuru negeri. Berikut daftar Tokoh Pahlawan Nasional Perjuangan Indonesia, yang sudah terangkum dalam 22 Tokoh Pahlawan Nasional Perjuangan Indonesia.


1. Kyai Haji Samanhudi

Tokoh pendiri Sarekat Dagang Islam (SDI), Kyai Haji Samanhudi lahir di Laweyan, Solo tahun 1868. Samanhudi nama kecilnya Sudarno Hadi, terkenal sebagai tokoh penentang kebijakan kolonial Belanda dalam bidang perekonomian, yang memberikan bantuan pada pedagang cina dan menekan pedagang pribumi sehingga mendorong persaingan dagang menjadi tidak sehat.

Kyai Haji Samanhudi yang tidak lulus SD, belajar agama di Surabaya sambil berdagang batik. Di Kota itu dia menyusun kekuatan di bidang perdagangan dan agama dengan mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) pada tahun 1912.

Kyai Haji Samanhudi - kangizal.com

Organisasi SDI mendapatkan sambutan luas masyarakat, sehingga pada Kongres I (25-26 Januari 1913 di Surabaya) sudah memiliki anggota sekitar 89.999 orang. Pada tahun 1916 anggota organisasi itu berkembang menjadi 360.000 orang dan kemudian 450.000 orang.

Di bawah kepemimpinan Kyai Haji Samanhudi, SDI kemudian menjadi partai politik, dan pada tahun 1912 nama SDI diubah menjadi Sarekat Islam (SI). Sampai tahun 1914, Kyai Haji Samanhudi menjadi ketua umumnya, kemudian dilanjutkan oleh Haji Umar Said Cokroaminoto.

SI menjalankan politik praktisnya, dengan memihak kepada kepentingan rakyat. SI berjuang menaikkan tingkat upah pekerja, membela petani tertindas, persewaan tanah yang tinggi, dan membela rakyat yang diperlakukan sewenang-wenang oleh tuan tanah.

Memasuki usia tuanya, kehidupan Samanhudi sangat memprihatinkan . Perusahaan batiknya bangkrut. Ia tidak aktif lagi berpartai, namun perhatiannya terhadap pergerakan nasional tetap bergelora.

Pada waktu perang kemerdekaan, Samanhudi membentuk Barisan Pemberontak Indonesia Cabang Solo dan mendirikan Gerakan Kesatuan Alap-Alap. Pada tanggal 28 Desember 1956, Kyai Haji Samanhudi meninggal dunia di Klaten dan dimakamkan di Desa Benaran, Sukoharjo Jawa Tengah. Sikapnya yang selalu membela rakyat banyak patut menjadi teladan bagi kita semua, apalagi di tengah suasana negara saat ini yang diatur oleh kesewenang-wenangan penguasa.

Pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Haji Samanhudi pada tanggal 9 November 1961 berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 590 tahun 1961.


2. Cut Nyak Dien

Cut Nyak Dien adalah pejuang wanita pemberani yang menyumbangkan hampir seluruh hidupnya untuk mengusir penjajah Belanda dari tanah rencong. Srikandi ini lahir dari keluarga pejuang pada tahun 1850 di Lampadang, Aceh Besar.

Cut Nyak Dien adalah putri seorang komandan perang Aceh, Nanta Nastia. Sejak kecil sudah kerap menyaksikan ayahnya menggembleng para pemuda agar menjadi tangguh dan berani disamping juga memiliki berbagai ilmu tentang bela diri. Karenanya, sejak kecil Cut Nyak Dien sudah masuk dalam kelompok perlawanan terhadap penjajah Belanda, meski secara langsung dia baru terlibat dalam perang Aceh pada tahun 1873.

Cut Nyak Dien yang cantik dan pintar menikah pada usia yang sangat dini, yaitu pada usia 10 tahun. Cut Nyak Dien menikah dengan Teuku Ibrahim Lamagna yang juga seorang pejuang Aceh.

Perkawinan Cut Nyak Dien dengan Teuku Ibrahim Lamagna membutuhkan pengorbanan yang besar. Ibrahim kerap menghabiskan waktunya di medan perang. Perkawinan itu bahkan tidak berlanjut karena pada suatu pertempuran besar dengan Belanda Teuku Ibrahim Lamagna terbunuh.

Lalu Cut Nyak Dien menikah dengan Teuku Umar, pejuang Aceh yang terkenal. Namun perkawinan inipun harus diakhiri dengan kematian Teuku Umar pada tahun 1899. Setelah kematian Teuku Umar suaminya, Cut Nyak Dien mengambil alih komando dan melanjutkan perang. Cut Nyak Dien mengobarkan semangat perjuangan kedua suaminya melalui pidatonya di masjid-masjid dengan mengajak masyarakat untuk ikut berjuang.

Perang yang berkepanjangan menyebabkan kesehatan Dien menurun. Cut Nyak Dien menderita penyakit yang serius. Karena iba melihat penderitaan Dien, pembantunya Pang Laot membuat perjanjian dengan Belanda. Ia menyatakan hendak mengalah, Jika Belanda tidak menyakitinya. Akhirnya Belanda menangkapnya pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dien meninggal di pengasingan di Sumedang, Jawa Barat. Semangat pantas menjadi teladan bagi generasi perempuan Indonesia saati ini.


3. Kapitan Pattimura

Kapitan Pattimura atau dikenal dengan Thomas Matulessy dilahirkan pada tahun 1783 di Ambon. Kapitan Pattimura dulu pernah memasuki dinas militer Inggris dengan pangkat Sersan. Salah satu bukti perlawanan Kapitan Pattimura adalah ketika ia bersama rakyat Maluku berhasil merebut Benteng Duursterde pada tanggal 16 Mei 1817. Penyerbuan itu dilakukan pada malam hari 14 Mei 1817. Ketika itu, Residen Van den Berg bersama istri dan dua orang anaknya tewas.

Benteng tersebut berhasil diduduki selama tiga bulan. Namun Belanda merebutnya kembali, setelah Laksamana Muda Buyskes mengirimkan pasukan besar-besaran. Kapitan Pattimura terkenal gigih dalam menentang Kolonial Belanda yang sangat licik dan menguras kekayaan rakyat Maluku. Bahkan perjuangannya masih diteruskan meski ia berada di luar Ambon. Di Palu, ia bersama pasukannya berhasil merebut Benteng Hoorn dan menewaskan seluruh prajurit Belanda yang ada di benteng tersebut.


Pada akhirnya, Pattimura ditangkap di Siri Sori pada 16 Desember 1817. Kepandaian, kegigihan, dan sikap pantang menyerah merupakan kombinasi yang terbukti membuat Belanda kerepotan. Kombinasi sikap ini sepatutnya dimiliki oleh generasi muda saat ini dalam menghadapi kesulitan.

Kapitan Pattimura dihukum gantung oleh Kolonial Belanda pada tanggal 16 Desember 1817. Namun sejarah mencatatnya sebagai tokoh pahlawan perjuangan kemerdekaan yang gigih dan tidak mengenal kompromi dengan bujukan kerja sama dengan Belanda yang sangat licik.

Berkat jasanya, berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 087/TK.1973 pada tanggal 6 November 1973, Pemerintah memberikan gelar Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan untuk Kapitan Pattimura.


4. Christina Martha Tiahahu

Christina Martha Tiahahu merupakan Mutiara dari Timur Indonesia, yang lahir di Pulau Nusa Laut Maluku pada tanggal 4 Januari 1800. Sejak kecil, Christina Martha Tiahahu sudah terlibat dalam perjuangan melawan penjajah Belanda yang mengeksploitasi kekayaan alam daerahnya. Christina Martha Tiahahu terlahir dari keluarga pejuang. Ayahnya, Kapitan Paulus Tiahahu telah berjuang melawan kolonial Belanda dan bergabung dengan Pattimura (Pahlawan Nasional dari Maluku) ketika penduduk Maluku serentak bergolak melawan penjajah Belanda pada tahun 1817. Dalam perjuangannya, Kapitan Paulus tertangkap, kemudian dihukum mati oleh penjajah Belanda.


Kematian ayahnya, sama sekali tidak membuat Christina takut dan gentar. Memang sejak kecil Christina Martha Tiahahu senantiasa ikut menyandang bedil dan berjuang bersama ayahnya di Nusa Laut. Justru kematian ayahnya itu semakin memperkuat tekad Christina untuk melanjutkan perjuangan ayahnya. Christina Martha Tiahahu kemudian tampil menggantikan ayahnya dalam memimpin rakyat Maluku melawan kesewenang-wenangan Belanda.

Namun keterbatasan persenjataan dan perbekalan menyebabkan perlawanan Christina Martha Tiahahu dapat dipatahkan oleh Belanda. Di usia yang terbilang masih sangat muda, Christina Martha Tiahahu ditangkap dan dibuang ke Pulau Jawa. Dalam perjalanan laut ke Pulau Jawa, Christina Martha Tiahahu enggan makan dan minum. Lama kelamaan kondisinya semakin melemah. Christina Martha Tiahahu meninggal dunia pada tanggal 2 Januari 1818. Jenazahnya kemudian dibuang ke laut di anatara Pulau Buru dan Pulau Tiga.

Sifat Christina Martha Tiahahu yang pemberani, pantang menyerah, dan konsisten dengan perjuangannya patutlah menjadi contoh dan teladan bagi generasi mudah sekarang ini. Atas perjuangannya itu, pemerintah kemudian menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepada Christina Martha Tiahahu dengan Surat Keputusan Presiden RI No.012/TK/1969 tanggal 20 Mei 1969.


5. Cut Nya Meutia

Cut Nya Meutia lahir di Peurelak, Aceh Utara pada tahun 1870. Cut Nya Meutia adalah salah satu pahlawan wanita dari tanah rencong Aceh. Meutia dengan suaminya Teuku Cik Tunong gencar melakukan gerilya terhadap Kolonial Belanda.

Cut Nya Meutia terkenal gigih melakukan perlawanan terhadap Belanda, hingga pada bulan Mei 1905, suaminya Teuku Cik Tunong tewas karena hukuman tembak oleh Belanda. Setelah suaminya tewas, Cut Nya Meutia sering dibujuk untuk menyerah oleh Belanda, namun ia tetap gigih dan teguh pada pendirian dan tidak mau menyerah. Bahkan Cut Nya Meutia terus melakukan perlawanan yang keras kepada Belanda.


Setelah ditinggal suaminya, Cut Nya Meutia menikah dengan Pang Nangru, sahabat suaminya yang juga turut membantu perjuangannya. Tahun 1889, ia melakukan strategi perlawanan dengan membentuk kelompok-kelompok pejuang yang bertugas untuk menyerang patroli-patroli Belanda di pedalaman Aceh. Dan strategi ini sangat memusingkan Belanda.

Selain wanita yang tangguh, Cut Nya Meutia juga terkenal cerdik dalam merencanakan strategi perang melawan Belanda. Cut Nya Meutia mampu meloloskan diri dari berbagai serangan Belanda, seperti pada pertempuran 26 September 1910. Pada saat itu suaminya, Pang Nangru, tewas oleh peluru Belanda. Berbekal 13 pucuk senjata api dan 45 orang pasukan, Cut Nya Meutia dengan ditemani kemenakannya, Raja Sabil yang berumur sebelas tahun, meneruskan perlawanan terhadap Belanda.

Pasukan perang Cut Nya Meutia berpindah-pindah, hingga suatu ketika persembunyiannya dikepung Belanda. Cut Nya Meutia tertembak kakinya, tapi tetap pantang menyerah. Cut Nya Meutia justru menyerang dengan sebilah pedang, hingga akhirnya tewas ditembus peluru Belanda pada tahun 1910. Kegigihan Cut Nya Meutia meski didera cobaan dan perlawanan, tapi ia tetap berjuang sampai titik darah penghabisan patut kita contoh. Cut Nya Meutia diberikan gelar Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan melalui Surat Keputusan Presiden No. 106/1964 pada tanggal 7 Mei 1964.


6. HOS Cokroaminoto

Haji Oemar Said Cokroaminoto dilahirkan pada tanggal 16 Agustus 1883 di Desa Bakur, Ponorogo, Jawa Timur. Haji Oemar Said Cokroaminoto meninggal dunia pada tanggal 17 Desember 1934 di Yogyakarta. Pemerintah menganugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia pada tanggal 9 November 1961, tepat 27 tahun wafatnya.


De Ongekroonde Van Java (Raja Jawa tanpa Mahkota) adalah sebutan Haji Oemar Said Cokroaminoto. Sebutan ini mengisyaratkan betapa besarnya pengaruh dikalangan masyarakat, juga karena betapa pemerintah khawatir terhadapnya. Keberaniannya dalam mengecam kesewenang-wenangan Belanda menunjukkan kejelasan sikapnya. Sikap seperti itu hendaknya kita miliki, tidak ikut-ikutan, apalagi hanya mengikuti kepentingan golongan tertentu saja.

Setelah Haji Oemar Said Cokroaminoto menamatkan OSVIA (Sekolah Calon Pegawai Pemerintah) pada tahun 1902, Cokroaminoto bekerja sebagai juru tulis di Ngawi. Kemudian Haji Oemar Said Cokroaminoto pindah ke Surabaya dan bekerja pada perusahaan dagang. Di kota ini Haji Oemar Said Cokroaminoto bekenalan dengan Samanhudi, pendiri dan pemimpin Sarekat Dagang Islam (SDI). Cokroaminoto pun masuk SDI. Atas saran Cokroaminoto, maka sejak 10 September 1912 nama SDI diganti dengan SI (Sarekat Islam) saja. Argumentasinya tentang perkataan 'dagang" sangat membatasi jangkauan organisasi, diterima dengan baik. Mula-mula HOS Cokroaminoto diangkat sebagai komisaris kemudian menjadi ketua.

Di masa kepemimpinannya, Sarekat Islam berkembang pesat, sehingga meresahkan pemerintah Belanda. Pada tanggal 25 November 1918, Haji Oemar Said Cokroaminoto bersama Abdul Muis yang mewakili SI dalam Volksraad (Dewan Rakyat) mengajukan tuntutan terhadap pemerintah Belanda untuk membentuk parlemen yang anggota-anggotanya dipilih dari rakyat dan oleh rakyat, serta pemerintah bertanggung jawab kepada parlemen.

Dalam pidatonya, Cokroaminoto kerap mengecam tindakan pemerintah Belanda yang menyebabkan penduduk Indonesia sangat menderita, antara lain pengambilalihan tanah rakyat untuk dijadikan perkebunan milik orang-orang eropa. Dia juga menuntut agar kedudukan dokter-dokter Indonesia disejajarkan dengan dkoter-dokter Belanda.

Pada tahun 1920 Cokroaminoto dijebloskan ke penjara karena dianggap menghasut dan menyiapkan pemberontakan. Tujuh tahun kemudian, Cokroaminoto diminta lagi untuk di Volksraad, tapi ia menolaknya. Teguh pendirian HOS Cokroaminoto patutlah kita teladani.


7. K H Agus Salim

Agus Salim lahir pada tanggal 8 Oktober 1884 di Kota Gadang, Sumatera Barat. Agus Salim adalah Masyhudul Haq yang dikenal dengan Haji Agus Salim. Agus Salim pernah bekerja sebagai penerjemah dan notaris. Bahkan pada tahun 1906-1911 pernah menjadi Pegawai Konsulat Belanda di Jeddah. Disana Agus Salim mendalami soal agama islam dan masalah diplomasi.

Rekam jejak Agus Salim dalam Pergerakan Nasional dapat dilihat dalam aktivitasnya di Sarekat Islam (SI). Di organisasi itu, ia berperan sebagai salah seorang Pengurus Pusat. Ketika SI dipengaruhi komunis, ia dengan keras melakukan tindakan penegakan disiplin partai dengan mengeluarkan orang-orang yang telah terpengaruh dengan paham komunis. SI yang kemudian menjadi Partai Syarikat Islam (PSI), kelak dipimpinnya, menggantikan HOS Cokroaminoto yang meninggal dunia pada tahun 1934.


Riwaya karir diplomatik Agus Salim, diantaranya sebagai penasihat teknis delegasi Serikat Buruh Negeri Belanda ke Konperensi Kaum Buruh Internasional di Jenewa, Swiss pada tahun 1929. Di situ Agus Salim berpidato secara mengagumkan dalam bahasa Perancis, salah satu dari 9 bahasa yang dikuasainya. Bahasa lain yang dikuasainya adalah bahasa Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, Turki, Arab dan Jepang.

Selain pengalaman sebagai diplomat, Agus Salim pernah pula memimpin beberapa surat kabar. Melalui ranah pers tersebut, Agus Salim mencurahkan pemikiran dan paham politiknya. Perjalanan karir politik Agus Salim terlihat antara lain sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Menteri Muda Luar Negeri pada Kabinet Syahrir I dan II, dan menjadi Menteri Luar Negeri pada Kabinet Hatta. Tokoh diplomat ulung Indonesia ini pernah ditangkap dan diasingkan oleh Belanda pada saat Agresi Militer II Belanda. Agus Salim meninggal dunia pada 4 November 1954 di Jakarta.

Agus Salim dianugerahkan sebagai tokoh pejuang dan pahlawan Pergerakan Nasional yang diberikan berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah RI No.657/1961 pada tanggal 27 Desember 1961.


8. Dr. Danudirja Setiabudi

Dr. Danudirja Setiabudi dilahirkan pada tanggal 8 Oktober 1879 di Pasuruan, Jawa Timur. Setiabudi adalah tokoh pergerakan nasional berdarah campuran Belanda, Jerman, Perancis dan Jawa. Ia senantiasa mengaku bangsa Indonesia, Seperti yang dilakukannya pada saat mendaftar sebagai mahasiswa di Universitas Zurich, Swiss.


Dr. Danudirja Setiabudi atau Ernest Eugene Douwes Dekker pernah menjadi guru kimia dan mengembara ke berbagai negara, bahkan pernah menjadi sukarelawan di Afrika Selatan dalam perang Boer. Ia juga pernah memimpin Harian De Express dan mendirikan Indische Partij (IP) bersama dengan dr. Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat. Indische Partij merupakan partai politik pertama yang lahir di Indonesia.

Setiabudi gencar melakukan kampanye bersatunya kaum Indo dalam menentang penjajahan. Setiabudi juga memperkenalkan suatu nama untuk tanah air kita yang mengandung unsur kata India, Yaitu Nusantara, suatu istilah yang telah lama kita lupakan semenjak zaman Majapahit. Oleh karena itu pula, ia dicap sebagai penjajah internasional oleh Belanda, karena menentang agresi militer Belanda. Bahkan pada tahun 1913, ia ditangkap dan dibuang ke Belanda, karena kegiatannya dalam Komite Bumiputera.

Dalam kabinet Syahrir III, ia diangkat menjadi menteri negara dan penasihat delegasi RI dalam perundingan-perundingan dengan Belanda. Dalam agresi militer II Belanda, ia ditangkap dan dipenjara. Dr. Danudirja Setiabudi meninggal di Bandung pada tanggal 28 Agustus 1950.


9. Dr Soetomo

Dr Soetomo lahir pada tanggal 30 Juli 1888 di Desa Ngepeh, Jawa Timur. Dr Soetomo adalah tokoh yang turut mendirikan organisasi modern pertama di Indonesia, yaitu Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908. Budi Utomo lahir karena Dr. Soetomo kala itu mengajak para pelajar STOVIA untuk membentuk suatu organisasi yang bertujuan memajukan pendidikan bangsa dan meninggikan martabat bangsa.


Dr Soetomo menamatkan pendidikannya di STOVIA (Sekolah Dokter Bumi Putera) tahun 1911. Pada tahun 1919, Dr Soetomo memperdalam ilmunya di Eropa, yaitu ke Negeri Belanda, Jerman dan Austria. Dr Soetomo menjadi anggota Indische Vereniging (Perhimpunan Indonesia) ketika sekolah di Belanda. Dr Soetomo pula yang mengusulkan agar organisasi Budi Utomo terjun ke kancah politik, dan anggotanya terbuka untuk seluruh rakyat Indonesia.

Pada tahun 1924, ia mendirikan Indonesische Studie Club (ISC), di mana pada tahun yang sama, Perserikatan Komunis Hindia, berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). ISC mendirikan asrama, sekolah tenun, bank kredit, dan juga tahun 1931, ISC berganti nama menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). Dr Soetomo menggabungkan Budi Utomo dan PBI menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra) pada tahun 1935.

Dr Soetomo meninggal dunia pada tanggal 30 Mei 1938 di Surabaya. Atas dedikasinya, Dr Soetomo dianugerahkan gelar Pahlawan Pergerakan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 657/1961 pada tanggal 27 Desember 1961. Dr Soetomo semasa hidup juga aktif di dunia kewartawanan, bahkan Dr Soetomo sempat menjadi pimpinan beberapa surat kabar.


10. Teuku Umar

Teuku Umar dilahirkan pada tahun 1854 di Meulaboh. Teuku Umar adalah keturuna seorang Minangkabau yang merantau ke Aceh pada akhir abad ke-17. Ayahnya bernama Teuku Mahmud dan ibunya merupakan adi raja Ule Balang VI Mukim.

Teuku Umar merupakan salah seorang pejuang yang terkenal gigih dan penuh tipu muslihat. Maka tidak heran apabila Perang Aceh merupakan perang yang sangat berat bagi Belanda dalam sejarah peperangan Hindia Belanda. Perang Aceh yang terus berkepanjangan sampai 40 tahun itu, tentu banyak tokoh pejuang yang terukir secara gemilang dalam sejarah nasional kita, dan salah satunya adalah Teuku Umar ini.


Di usia mudanya, Teuku Umar yang berbadan besar dan tegap suka berkelahi dan berkelana. Ia berkelana dari kampung ke kampung, sambil belajar silat dan mengaji. Keluar masuk hitan sekadar menuruti kemauan hatinya. Ketika ia berusia 19 tahun, meletuslah perang menentang kedatangan Belanda di Aceh. Rakyat Aceh dan pemimpinnya mengajak Umar memberontak terhadap Belanda dan membuat perjanjuan Sumatera bersama Inggris, untuk menguasai Aceh.

Dengan berbekal berbagai bentuk tantangan dan kesukaran yang dialaminya di masa muda, Teuku Umar tampil sebagai salahs eorang pemimpin perang yang paling disegani.

Pada tahun 1880, Teuku Umar menikahi Cut Nyak Dien, anak dari panglimanya sendiri, Nata Stia. Keputusan mengambil istri Cut Nyak Dien itu dianggap cukup dramatis, karena Cut Nyak Dien sudah menjanda saat itu.

Tahun 1883, Teuku Umar menyerah kepada Belanda hingga menjadi kaki tangan dan orang kepercayaan Belanda. Ia ditugaskan melatih prajurit Belanda yang akan berperang di hutan dan di gunung untuk menghadapi taktik perang gerilya orang Aceh. Namun Belanda menanggung kerugian yang sangat besar. Banyak prajurit mereka yang mati secara tidak wajar karena kecelakaan latihan.

Teuku Umar berkhianat kepada Belanda, setelah bekerja sama selama dua tahun. Kala itu ia ditugaskan Belanda membebaskan kapal Inggris, CICERO yang dibajak oleh Raja Teunom. Ketika mendekati kapal, ia berbalik menembak mati 32 prajurit yang menyertainya dan kembali menghantam Belanda. Ia pun membawa banyak uang dan sejata untuk para pejuang Aceh.

Dua tahun kemudian Teuku Umar kembali mengejutkan Belanda. Ia membajak Kapal Kok Canton, yang baru dibebaskan setelah ditebus dengan sejumlah uang. Namun kehadiran Snouck Horgrounje membuat perlawanan Aceh pudar. Beberapa panglima Aceh ternama tewas. Umar terkesiap, ia kembali lagi menjadi kaki tangan Belanda.

Tahun 1893, Jenderal Van Teinj menjamin keselamatan Umar, asal ia bersedia menjadi kaku tangan mereka. Ia kemudian berganti nama menjadi Teuku Johan, setelah sebelumnya bersumpah di atas sebuah makam keramat leluhur Aceh, Teuku Ajong agar tidak berkhianat lagi.

Sikap dan sepak terjang Teuku Umar seringkali sulit dipahami, sehingga ia dibenci oleh berbagai kalangan. Cut Nyak Dien sang istri mendapat ejekan. Katakan pada suamimu Umar, demikian tulis Teuko Fakimah suatu saat kepada Cut Nyak Dien, agar ia ke lamkrah (ketika itu memang menjadi markas perjuangan rakyat Aceh terhadap Belanda).

Tahun 1896, patriotisme Teuku Umar kembali terbukti. Belanda yang sepenuhnya percaya padanya, memintanya memimpin 250 orang prajurit untuk menumpas para pejuang Aceh. Namun melalui kaki tangannya, Teuku Umar terlebih dahulu memberitahukan kedatangan mereka kepada para pejuang Aceh. Belanda yang selalu percaya akan kemampuan Teuku Umar, terus menambah perlengkapan dan kemampuan perangnya.

Kemudian pada tanggal 29 Maret 1896, Teuku Umar berbalik haluan dengan membawa 800 pucuk senjata, 250.000 butir peluru, dan uang 18.000 dolar serta peralatan tempur lainnya. Teuku Umar kemudian menjadi pejuang gerilyawan. Ia memimpin rakyat Aceh berjuang selama kurang lebih 3 tahun lamanya.

Pada tanggal 10 November 1899 Teuku Umar tewas tertembak ketika Van Housts menjebaknya. Seorang pengawalnya yang setia, PangLao, memanggulnya keluar Meulaboh, agar mayatnya tidak disia-siakan. Sejak saat itu, perjuangan rakyat Aceh berpindah-pindah terus, di bawah pimpinan Cut Nyak Dien, yakin istri Teuku Umar yang setia.

Teuku Umar dianugerahu gelar Pahlawan Nasional oleh Pemerintah berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 088/tk/1973 itu dinilai merupakan tokoh yang paling kontroversial. Seorang pejuang yang cerdik, tapi tidak pernah mengambil keuntungan dari setiap peristiwa yang dialaminya, demikian tulis M. H Szekely, tentang Teuku Umar.

Kecerdikan dan kesetiaan Teuku Umar pada bangsanya, serta sikap patriotis merupakan sikap yang sudah sepatutnya kita teladani.


11. Tuanku Imam Bondjol

Imam Bondjol, atau nama lainnya Peto Syarif lahir pada tahun 1772 di kampung Tanjung Bunga, Pasaman, Sumatera Barat. Ia terkenal akrena tokoh yang gigih menentang Kolonial Belanda, dan juga melakukan pelurusan ajaran Islam yang banyak diselewengkan pada masa itu.

Tuanku Imam Bondjol melakukan perlawanan pada Belanda dengan cukup gigih. Perlawanan ini sangat merepotkan Belanda, sampai-sampai Belanda melakukan perjanjian damai di Masang, Sumatera Barat pada tahun 1824. Namun demikian, Belanda sendiri melakukan pengingkaran dengan menyerang Nagari Pandai Sikat. Pertentangan antara kaum Paderi (kalangan agama) dengan kaum adat dimanfaatkan oleh Belanda untuk menghantam kaum Paderi.


Belanda sangat membantu Kaum Adat karena sebab mereka ingin menangkap Tuanku Imam Bondjol, yang dianggal membahayakan. Tidak tanggung-tanggung, Belanda mengirimkan pasukan tangguhnya untuk menggempur pasukan Paderi, bahkan Gubernur Jenderal Van den Bosch juga ikut memimpin serangan ke Bondjol. Setelah panglima perang berganti tiga kali, dan menunggu hampir tiga tahun Belanda akhirnya berhasil menaklukkan Bondjol pada 16 Agustus 1837.

Dengan melakukan upaya perdamaian berupa Maklumat Palakat Panjang, Belanda berusaha menjebak Imam Bondjol. Pada awalnya Imam Bondjol tidak percaya dan curiga, namun akhirnya, lewat kelicikannya Belanda dapat menjebak Tuanku Imam Bondjol pun tertangkap, lalu diasingkan ke Cianjur. Kemudian Tuanku Imam Bondjol dipindahkan ke Ambon, karena takut mempengaruhi kaum muslim di Jawa Barat.

Hingga akhirnya Tuanku Imam Bondjol meninggal dunia di Manado, tempat pengasingannya terakhir pada tanggal 6 November 1864. Sikapnya yang tidak kenal kompromi terhadap Belanda dan memegang teguh kemurnian ajaran Islam patut diteladani. Sikap seperti ini terbukti mampu membuat Belanda hampir putus asa.

Berdasarkan Surat Keputusam Presiden RI No. 087/TK/1973, tanggal 6 November 1973 Pemerintah menetapkan Tuanku Imam Bondjol sebagai Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan.


12. Sultan Hasanuddin

Sultan Hasanuddin lahir di Makassar pada tahun 1631, ia dijuluki Ayam Jantan dari Timur. Keberaniannya menentang Kolonial Belanda sudah dikenal masyarakat Makassar. Sultan Hasanuddin adalah raja dari kerajaan Gowa, Sulawesi. Ia adalah putra kedua dari Sultan Malikussaid, Raja Gowa ke-15.  Kerajaan Gowa adalah kerajaan terbesar di wilayah timur Indonesia, serta menguasai lalu lintas perdagangan di sana.


Ketika Belanda datang dan bermaksud memonopoli perdagangan, Hasanuddi menentang keras. Tentu saja peperangan tidak dapat dihindari. Belanda menurunkan Cornelis Speelman dengan 1000 tentaranya pada tahun 1666. Pertempuran sangat alot dan berlangsung berbulan-bulan, sehingga mengakibatkan pasukan kerajaan Gowa semakin melemah. Hal itu juga disebabkan hasutan Belanda pada kerajaan-kerajaan kecil di sana, untuk memerangi kerajaan Gowa.

Pada tanggal 18 November 1667, diadakan perjanjian Bongaya. Melalui perjanjian itu, secara licik Belanda telah menyebabkan kerajaan Gowa sebagai pihak yang semakin dirugikan. Akibatnya, Sultan Hasanuddin bersama pasukannya kembali berperang melawan Belanda.

Belanda pun tidak tinggal diam begitu saja, mereka mendatangkan bantuan dari Batavia hingga akhirnya Belanda berhasil merebut benteng terkuat Gowa, Sombo Opu. Hal ini menyudutkan pasukan Gowa, hingga akhirnya perlawanan tidak berlanjut.

Kemudian Sultan Hasanuddin mengundurkan diri sebagai raja dan digantikan oleh Sultan Amir Hamzah. Sultan Hasanuddin wafatnya, pada 12 Juni 1670, Hingga akhir hayatnya Hasanuddin tetap menolak bekerja sama dengan Belanda.

Atas jasa-jasanya kepada bangsa dan negara, pemerintah menganugerahkan gelar pahlawan perjuangan kemerdekaan, berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 087/TK/1973 tanggal 6 November 1973. Sikap Sultan Hasanuddin yang konsisten untuk tidak bekerja sama dengan Belanda sudah seharusnya menjadi teladan bagi kita semua.


13. Teuku Cik Di Tiro

Teuku Cik Di Tiro lahir di Cumbok Lamlo, Tiro, Aceh pada tahun 1836. Nama aslinya adalah Muhammad Saman. Teuku Cik Di Tiro lahir dari pasangan Teungku Syech Ubaidillah dan Siti Aisyah, putri Teungku Sjech Abdussalam Muda Tiro, Ia berasal dari keluarga yang religius.


Teuku Cik Di Tiro sempat memperdalam ilmu agamanya ketika menunaikan ibadah haji di Mekkah. Ketika di Mekkah, Teuku Cik Diro tidak hanya belajar mengenai agama, tetapi juga perjuangan pemimpin-pemimpin Arab melawan imperialisme dan kolonialisme.

Pengalaman di Arab telah membentuk dirinya menjadi pejuang yang sanggup berkorban apa saja demi tegaknya kehidupan agama dan bangsa. Keyakinan inilah menjadi jiwa dari kehidupan Teuku Cik Di Tiro hingga ia membentuk pasukan perang yang terkenal dengan sebutan Angkatan Perang Sabil.

Angkatan Perang Sabil sangat tangguh dan gigih menentang Kolonial Belanda. Ketangguhan pasukannya terbukti pada saat merebut benteng Belanda di Indrapuri pada tahun 1881, kemudian dilanjutkan dengan perjuangan di Benteng Lambaro, dan Aneuk Galong.

Seperti diketahui, banhwa kolonial Belanda telah menjajah bumi Serambi Mekah sejak tahun 1873. Pada akhir tahun 1883, Teuku Ci Di Tiro menetapkan strategi perang, agar Belanda dapat terusir dari bumi Aceh. Pada peperangan pertama, pemimpin Belanda saat itu, Mayor Jenderal Kohler terbunuh. Pada bulan Mei tahun 1881, pasukan Cik Di Tiro dapat merebut benteng Belanda di Lambaro, Aneuk Galong.

Namun karena kelicikan siasat Belanda di saat perang berkecamuk, makanan yang dikirim untuknya sudah dibubuhi racun sehingga Teuku Cik Di Tiro wafat pada bulan Januari 1891. Kegigihan dan keberaniannya serta pantang menyerah dalam menentang penjajahan Belanda patut menjadi teladan bagi kita semua dewasa ini. Atas perjuangannya, pemerintah kemudian menganugerahkan gelar pahlawan Nasional kepada Teuku Cik Di Tiro dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 087/TK/1973 tanggal 6 November 1973.


14. Jenderal Soedirman

Jenderal Soedirman lahir pada tanggal 24 Januari 1916 di Bodas, Karangjati, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Riwayat pendidikan Jenderal Soedirman yaitu His Purwekerto, Taman Dewasa Taman Siswa, dan kemudian Sekolah Guru Muhammadiyah, akan tetapi tidak tamat. Soedirman kemudian mengajar pada sekolah Muhammadiyah. Dia juga memasuki organisasi pramuka dan terkenal dengan kedisiplinannya yang keras.


Jenderal Soedirman merupakan Panglima Besar Tentara Indonesia. Beliau akrab dipanggil Pak Dirman. Mantan Panglima Besar Tentara Indonesia ini dikenal dengan semangat kharismatis dan berwibawa. Ia merupakan figur populis dengan seribu kebijakan. Para militer Indonesia sekarang menyebutnya Panglima Besar. Sebutan untuk jasanya dalam membentuk, menyusun, dan meletakkan dasar bagi organisasi ketentaraan Indonesia sampai terbentuknya TNI pada saat masa sekarang.

Pada masa Jepang menyerbu Indonesia, dan melakukan militerisasi terhadap para pemuda. Soedirman masuk barisan tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor, sebuah organisasi ketentaraan bentukan Jepang untuk menyokong perang Asia Timur Raya yang sedang berkecamuk, sekaligus persiapan bagi Kemerdekaan Indonesia. Selain giat dalam dunia pendidikan, ia juga mendirikan koperasi agar rakyat terhindar dari kelaparan. Dan pada akhirnya menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Karesidenan Banyumas. Selesai pendidikan, ia diangkat sebagai komandan Batalyon di Kroya.

Ketika itu, ia hampir saja dibunuh karena memprotes atasannya (Jepang) yang bertindak sewenang-wenang terhadap anak buahnya. Namun ia selamat karena diumumkannya proklamasi 1945. Soedirman segera aktif dalam kancah perjuangan kemerdekaan dan berhasil merebut senjata tentara Jepang di Banyumas. Setelah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia diangkat sebagai Panglima Divisi V Banyumas dengan pangkat Kolonel. Dalam Konferensi TKR tanggal 12 Nopember 1945, Soedirman terpilih menjadi Panglima Besar TKR dengan menyisihkan 19 calon lainnya.

Jenderal Soedirman kemudian dilantik dengan pangkat jenderal dan merangkap jabatan sebagai Kepala Staf Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat. Sejak saat itulah, Jenderal yang terkenal dengan keras hati ini, harus bergulat mempersatukan berbagai laskar Indonesia, sambil membangun citra tentara Republik Indonesia. Jenderal Soedirman terkenal tampil cekatan memimpin pasukan dengan taktik bergerilya. Ia dianggap memiliki kekuatan gaib. Banyak orang menyebutknay, Senopati Ing Ngalogo, atau Panglima Perang Gerilya Semesta. Sewaktu Belanda melancarkan Agresi II Soedriman menyingkir ke luar kota dan mengadakan perang gerilya.

Ia menolak ajakan presiden untuk tetap di dalam kota. Pada tahun 1948, Belanda menduduki Yogyakarta. Soekarno dan Hatta, Presiden dan Wakil Presiden ditangkap. Ibukota Republik Indonesia pada waktu itu dipindahkan untuk sementara ke Sumatera. Dengan sikap ksatria, Soedirman kendatipun dalam keadaan fisik yang sangat lemah, memimpin gerilya memasuki desa, hutan dan gunung selama tujuh bulan lamanya, sambil terus menggalang kekuatan perlawanan rakyat. Penyakit TBC yang dideritanya sering kambuh disebabkan kurangnya asupan makanan dan obat-obatan.

Pemerintah secara politis dan hukum boleh saja jatuh, tetapi perlawanan rakyat dan tentara harus tetap dilakukan, demikian pikir Soedirman. Dengan perjuangan yang gigih, meskipun ia harus ditandu, Soedirman berhasil merebut Ambarawa dan mengambil alih kekuatan tentara Belanda yang dibantu oleh NICA. Dunia interbasional terbuka matanya, Indonesia ternyata masih ada. Kesatuan laskar-laskar mulai terbentuk dan mebrio tentara Indonesia modern mulai bersemi kembali. Akan tetapi Soedirman tidak dapat menikmati hasil karyanya. karena kondisi fisik yang semakin memburuk.

Jenderal Soedirman meninggal pada tanggal 29 Januari tahun 1950. Beliau telah berjuang dan meninggalkan jasanya yang tak terkira. Ketika jenasahnya di arak menuju Taman Makam Pahlawan Kusumanegara, Semaki, Yogyakarta, banyak rakyat berkabung dan meratapinya. Penduduk berbaris berderet sepanjang jalan perarakan. Pada saat penguburan di Kusumanegara, sebelum tembakan penghormatan kebesaran dilakukan, Mohammad Hatta, Wakil Presiden Indonesia menyampaikan pidato yang intinya adalah bahwa Soedirman adalah seorang yang keras hati; yang sangat teramat mencintai tanah air, seorang yang sukar dikemudikan, tetapi seorang yang taat pada keputusan pemerintah dan ia merupakan Jenderal Besar.

Untuk mengenang jasanya, Jenderal Soedirman dianugrahi gelar Pahlawan berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI no.314/Tahun 1964 pada tanggal 10 Desember. Kini di depan Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, berdirilah sebuah patung besar nan megah dirinya yang berdiri tegak. Ia memang sudah meninggalkan kita semua, akan tetapi kebesaran jasanya tak pernah dilupakan sampai sekarang.


15. Muhammad Husni Thamrin

Muhammad Husni Thamrin dilahirkan pada tanggal 16 Februari 1894, di Sawah Besar, Jakarta. Muhammad Husni Thamrin bekerja sebagai pegawai sipil rendah setelah menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Menengah Koning William III Jakarta. Kemudian, Muhammad Husni Thamrin pindah bekerja ke perusahaan perkapalan Koningklijke Paketvaart Maatschappij (KPM).

Pada tahun 1919, Muhammad Husni Thamrin ditunjuk sebagai anggota badan kota Batavia, di mana Muhammad Husni Thamrin dapat menyuarakan keperluan untuk membangun kawasan terbelakang di Jakarta tersebut.


Muhammad Husni Thamrin adalah pejuang yang sangat memperhatikan kondisi kehidupan masyarakat Jakarta pada masa pendudukan Belanda, dan berusaha memperbaikinya. Pada tahun 1923, Muhammad Husni Thamrin dipilih sebagai pimpinan organisasi masyarakat Betawi, yang bertujuan untuk mengadakan perdagangan, pendidikan, dan kesehatan masyarakat. Karena usaha dan pengaruhnya, pemerintah menyebutnya sebagai Mayor Deputi Batavia.

Pada tahun 1927 Muhammad Husni Thamrin dipilih sebagai anggota Volksraad, parlemen semi-independen, di mana dia membentuk Faksi Nasionalis. Sebagai anggota Volkraad, ida mengunjungi Sumatera Timur untuk mengamati kondisi pekerja perkebunan yang miskin. Setelah kembali, ia meminta Volksraad untuk mengeluarkan petisi yang disebut Poenale Sanctie, menghapus hukuman terhadap pekerja yang lalai oleh pemilik perkebunan. Belanda akhirnya menerima petisi tersebut.

Kemudian pada tahun 1939, Muhammad Husni Thamrin mengeluarkan petisi tentang istilah "Netherlands Indie, Nederlands Indische, Inlander" diganti dengan "Indonesia, Indonesisch, Indoneier". Penguasa tidak mengubah petisi tersebut, walaupun mendapat dukungan mayoritas di Volksraad.

Kegigihan dan lika-liku sepak terjang pemikiran Muhammad Husni Thamrin dalam menyikapi berbagai persoalan masyarakat mengakibatkan penguasa kolonial Belanda mulai mencurigainya. Pada tanggal 6 Januari 1941, dalam keadaan sakit, ia ditempatkan di rumah tahanan karena dianggap bekerja sama dengan Jepang. Lima hari kemudian, Muhammad Husni Thamrin meninggal dunia dan dikuburkan di Jakarta. Perhatian dan perjuangan Muhammad Husni Thamrin untuk masyarakat miskin mesti menjadi teladan bagi kita semua.


16. Wilheminus Zakharias Yohannes

Wilheminus Zakharias Yohannes lahir di pulau Rote, Nusa Tenggara Timur pada tahun 1895. Pendidikannya dimulai di HIS (Sekolah Dasar berbahasa Belanda) yang diselesaikan hanya dalam lima tahun, dari lama belajar di HIS selama tujuh tahun. Wilheminus Zakharias Yohannes kemudian melanjutkan sekolah ke STOVIA (Sekolah Dokter). Ia mendalami ilmu kedokteran bidang radiologi. Ia kemudian dikenal sebagai Bapak Radiologi Indonesia.


Kemudian pada tahun 1930 ketika bertugas sebagai Dokter di Palembang, ia mengalami musibah penyakit lumpuh. Namun selama menjalani masa perawatan, semangat belajarnya tidak pernah padam. Ia mendalami masalah rontgen, karena yakin penyakit lumpuhnya dapat disembuhkan melalui pengobatan rontgen, sehingga ia pun mendapatkan gelar Doktor karena dedikasinya yang tinggi di bidangnya itu.

Selain aktif di bidang kedokteran, Wilheminus Zakharias Yohannes juga terjun dalam kegiatan pergerakan nasional melalui Organisasi Keimanan. Di masa pergerakan nasional, dia duduk sebagai penasehat Badan Persiapan Persatuan Kristen yang kemudian menjelma menjadi PARKINDO.

Semasa perang kemerdekaan RI, Wilheminus Zakharias Yohannes duduk sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang merupakan lembaga legislatif. Pada tahun 1950, Wilheminus Zakharias Yohannes menjadi Rektor Universitas Indonesia sambil merangkap sebagai Ketua Bagian Rontgen RSUP Cipto Mangun Kusumo, Jakarta.

Pada tanggal 4 September 1952, Wilheminus Zakharias Yohannes meninggal dunia di Denhaag, Belanda. Jenazahnya dibawa ke Jakarta dan dimakamkan di kota yang sama. Atas jasa-jasa dan pengabdiannya tersebut, pemerintah Indonesia menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional pada tanggal 9 November 1991.


17. Suryopranoto

Suryopranoto lahir pada tahun 1871 di Yogyakarta. Ia adalah cucu Pakualam III dan kerap dijuluki Raja Pemogokan atau De Stakingskoning oleh Belanda. Ia pernah menempeleng atasannya yang seorang Belanda, ketika bekerja sebagai pegawai di kantor kontrolir Tuban.

Suryoranoto pernah menjadi pegawai Dinas Pertanian di Wonosobo. Hal itu wajar saja, karena ia lulus Sekolah Pertanian Bogor. Suryapranoto menjadi langganan penjara Belanda, karena kegiatannya lewat aksi mogok, maka dari itu, tidak heran beliau terkenal karena perlawanannya terhadap kolonial Belanda dengan mengorganisasikan aksi mogok buruh.


Tahun 1923 Suryopranoto dipenjara di Malang, tahun 1926 di Semarang, dan tahun 1933 di Sukamiskin, Bandung. Pada tahun 1922 terjadi pemogokan 3.000 buruh pegadaian di Yogyakarta, yang kemudian pemogokan itu menjalar ke mana-mana. Untuk membantu buruh yang dipecat karena aksi tersebut, Suryapranoto membentuk suatu badan. Ia berhenti sebagai kepala Dinas Pertanian karena protes terhadap pemecatan pegawai yang merupakan anggota Sarekat Islam. Sejak saat itu, ia tidak sudi lagi bekerja pada Belanda.

Beliau sangat gencar sekali melakukan tuntutan kenaikan upah buruh dan jaminan sosial yang layak dari pemerintah Belanda. Perhatiannya pada buruh sangat besar, terlebih dengan berdirinya organisasi Adhi Dharma pada tahun 1914. Demikian pula saat Jepang menduduki Indonesia, ia dengan gencar menentang Jepang. Keberaniannya untuk membela hak-hak buruh patut diacungi jempol dan menjadi teladan, karena seringkali hak-hak buruh sengaja dilupakan oleh penguasa dan pemerintah.

Suryopranoto meninggal dunia pada tanggal 15 Oktober 1959 di Cimahi dan dimakamkan di Kotagede, Yogyakarta. Suryopranoto mendapat anugrah sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.310/1959 pada tanggal 30 November 1959.


18. Oerip Soemohardjo

Oerip Soemohardjo adalah pendiri TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang bermarkas di Yogyakarta tahun 1945. TKR dianggap sebagai cikal bakal Tentara Nasional Indonesia. Oerip Soemohardjo lahir pada tanggal 22 Februari 1893 di Purworejo, Jawa Tengah. Beliau pertama kali belajar di sekolah sipil biasa, OSVIA, Di Magelang pada tahun 1910. Kemudian, dia mengambil kursus militer dari tahun 1911 sampai dengan 1914, dan ditempatkan di Kalimantan Selatan dari tahun 1914-1917 sebagai letnan dua.


Pada tahun 1917, dia mengikuti ujian yang menempatkannya sejajar dengan perwira Belanda. Pada 10 tahun kemudian, dia berpindah dari satu kota ke kota lainnya untuk menjalankan tugas militernya sampai Jepang mendarat pada tahun 1942. Selama pendudukan Jepang tahun 1942-1945, ia tinggal dan menetap di Yogyakarta tanpa melakukan aktivitas apapun.

Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 menyebabkan para perwira KNIL yang orang Belanda pulang ke Belanda. Hal inilah yang menyebabkan kekosongan di dalam tentara Indonesia, sehingga para mantan perwira yang berasal dari Indonesia kemudian membentuk TKR dengan mendirikan kantor pusat di Yogyakarta.

Setelah melalui suatu masa pertemuan, para komandan TKR memilih para pemimpinnya. Pada tanggal 20 Oktober 1945 Oerip Soemohardjo terpilih sebagai staf TKR, sementara Sudirman terpilih sebagai Kepala Staf TKR. Oerip Soemohardjo wafat karena serangan jantung dan dikuburkan di Taman Makan Pahlawan Yogyakarta.


19. Gatot Soebroto

Ucapan beliau yang terkenal, “Jagalah namamu, jangan sampai disebut sebagai pengkhianat bangsa”, kalimat tersebut menunjukkan sikapnya yang tegas. Gatot Soebroto ditetapkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan berdasarkan Surat keputusan Presiden RI No. 222/1962 tanggal 18 Juni 1962 ini, sebagai militer tulen. Di samping itu juga ia terkenal sangat memperhatikan perwira-perwira muda yang memiliki gagasan untuk mendirikan Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI).


Gatot Soebroto dilahirkan di Purwokerto tahun 1909, pernah sekolah ELS (SD Belanda), namun pindah ke HIS (SD Hindia Belanda) karena berkelahi dengan siswa anak Belanda. Pendidikannya lebih banyak di bidang militer.

Tahun 1923, ia memasuki sekolah militer di Malang. Pada masa pendudukan Jepang, ia bergabung dalam Pembela Tanah Air (PETA). Ia lalu diangkat menjadi komandan Kompi di Sumpyuh, Banyumas. Ia juga pernah menjadi anggota militer KNIL (Tentara Hindia Belanda), pada masa perjuangan kemerdekaan memasuki TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Gatot Soebroto juga pernah menjabat Panglima Divisi II, Panglima Corps Polisi Militer, dan Gubernur Militer Daerah Surakarta dan sekitarnya. Dia berperan besar saat penumpasan pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948.

Sikapnya keras dan sering menentang atasannya karena Gatot Soebroto lebih membela bawahannya. Jabatan Jenderal Gatot Soebroto terakhir adalah Wakil kepala Staf Angkatan Darat. Sebelumnya, dia menjabat Panglima Tentara dan Teritorium (T&T) IV/Diponegoro.

Gatot Soebroto Meninggal 11 Juni 1962 di Jakarta dan dimakamkan di Desa Mulyoharjo, Unggaran, Yogyakarta. Untuk mengenang jasa beliau, pemerintah mengabadikannya pada nama Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Soebroto (RSPAD Gatot Soebroto) dan juga nama jalan Jenderal Gatot Soebroto.


20. Abdul Muis

Abdul Muis merupakan salah seroang Pahlawan Pergerakan Nasional yang aktif dalam Sarekat Islam (SI). Selain itu ia juga aktif dalam dunia kewartawanan, melalui berbagai surat kabar seperti Preanger Bode di Bandung, Harian De Express, Kaum Muda dan Majalah Neraca. Salah satu karyanya yang terkenal di bidang sastra adalah Salah Asuhan.


Beliau dilahirkan pada tanggal 3 Juli 1886 di Sungai Puar, Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Pernah belajar di STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera) akan tetapi tidak tamat. Ketika menjalani profesi kewartawanannya itu, ia giat menentang tulisan-tulisan Belanda yang melecehkan Bangsa Indonesia.

Pada saat memboikot perayaan 100 tahun lepasnya Negeri Belanda dari Perancis, ia ditangkap oleh Belanda dan dipenjara karena aktivitasnya di Sarekat Islam. Ia juga pernah dikirim sebagai utusan Komite Indie Weerbaar (Ketahanan Hindia Belanda) menuju Negeri Belanda untuk memperjuangkan waib militer di Indonesia sehubungan dengan terjadinya Perang Dunia I. Meski gagal, namun Abdul Muis dapat mempengaruhi tokoh-tokoh Belanda untuk mendirikan Technische Hogeschool (sekarang Institut Teknologi Bandung)

Ketika melakukan aksi pemogokan buruh, sekaligus sebagai pemimpin pemogok tersebut tahun 1922 di Yogyakarta, Belanda menganggapnya sebagai tokoh pergerakan yang harus diasingkan ke Bandung. Di kota inilah ia tinggal diam.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Abdul Muis mendirikan Persatuan Perjuangan Priangan demi membantu perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Abdul Muis meninggal di Bandung 17 Juni 1959. Dua bulan setelah ia wafat, Pemerintah menganugerahkan Gelar Pahlawan bagi Abdul Muis pada tanggal 30 Agustus 1959 berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No, 128/1959.


21. Sutan Syahrir

Cita-cita mewujudkan kemerdekaan membuatnya meninggalkan bangku sekolah di Belanda dan terjun dalam pergerakan nasional. Syahrir pernah tiga kali menjabat sebagai perdana menteri, serta merangkap sebagai menteri dalam dan luar negeri.

Sutan Syahrir lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, tanggal 5 Maret 1909. Pada usia 22 tahun, dia menjadi Ketua Umum Partai Nasional Indonesia Merdeka, yang mana bertujuan mendidik kader-kader politik bangsa. Oleh karena itu, ia ditangkap Belanda pada 1934 dan dipenjara di Cipinang, Jakarta, sebelum dibuang ke Digul, Papua bersama Bung Hatta. Kemudian dibuang ke Banda Neira, dan terakhir ke Sukabumi, Jawa Barat.


Kemudian Sutan Syahrir mendirikan Jong Indonesia, dan menjadi Pemuda Indonesia. Pada masa Jepang ia melakukan perlawanan rahasia bersama mahasiswa. Pada Orde lama, Syahrir ditangkap karena dituduh berkomplot untuk membunuh Presiden Soekarno. Saat itu, Sutan Syahrir aktif membina partai Sosialis Indonesia.

Sutan Syahrir meninggal dunia di Swiss pada tanggal 9 April 1966, untuk berobat sakit lumpuhnya. Ia dianugrahi gelar pahlawan nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden R1 no.76/1966 pada 9 April 1966. Itulah kisah singkat mengenai Sutan Syahrir.


22. Pangeran Diponegoro

Pangeran Diponegoro lahir di Yogyakarta pada tanggal 11 November 1785. Ia adalah putra Sultan Hamengkubuwono III dari ibu yang bukan permaisuri. Semasa kecilnya, pangeran Diponegoro di asuh oleh neneknya, Ratu Ageng yang saleh, Janda Sulta Hamengkubuwono I. Sikap Belanda yang kerap mengadu domba, merendahkan martabat raja-raja Jawa, serta melakukan penindasan terhadap rakyat kecil, seperti merampas tanah-tanah rakyat untuk dijadikan perkebunan pengusaha-pengusaha Belanda, merupakan alasan dasar mengapa Pengerang Diponegoro memberontak.


Sepanjang tahun 1825-1830, pangeran Diponegoro melakukan perlawanan terhadap Belanda, sampai kemudian ditangkap setelah ditipu Belanda secara licik. Setelah mengundurkan diri dari keanggotaan Dewan Mangkubumi. Ia bersama pasukannya menetap di Tegalrejo. Belanda mengetahuinya dan menyerang Tegalrejo pada tanggal 20 Juli 1825. Pasukan Diponegoro lalu berpindah ke Selarong, sebuah daerah berbukit-bukit yang dijadikan markas besarnya.

Perjuangan Diponegoro mendapat sambutan dari berbagai pihak, yaitu bangsawan, ulama dan petani. Mereka menggabungkan diri dengan pasukan Pangeran Diponegoro, termasuk seorang ulama besar, Kyai Mojo dan Sentot Alibasyah Prawirodirjo, bangsawan yang kemudian menjadi panglima utamanya. Belanda yang sangat kewalahan atas serangan-serangan  Diponegoro, akhirnya menukar siasat perangnya dengan system benteng.

Belanda mendirikan benteng di segala penjuru, sehingga ruang gerak pasukan Diponegoro menjadi sempit. Selain itu, Belanda membujuk beberapa tokoh perlawanan agar menghentikan perang. Sejak itu, kekuatan perlawanan Diponegoro menjadi kurang dan lemah. Walaupun begitu, Diponegoro tidak berniat untuk menyerah kepada Belanda. Belanda kemudian mengumumkan hadiah 20.000 ringgit bagi siapa saja yang dapat menangkap Pangeran Diponegoro. Namun demikian, rakyat tak mau dikelabui dan mereka tak hendak menghianati pemimpin yang mereka cintai.

Setelah tentara-tentaranya banyak yang mati, dan menelan dana yang sangat banyak, hampir 20 juta golden, Belanda menjebak Pangerang Diponegoro dalam suatu siasat perundingan di Magelang, tanggal 28 Maret 1830. Pangeran Diponegoro pun tertangkap, lalu ia di buang ke Manado. Selanjutnya, ia dipindahkan ke Ujung Pandang dan meninggal di sana pada tanggal 8 Januari 1855.


Untuk mewariskan nilai-nilai dan semangat perjuangannya, pada tanggal 9 Agustus 1969, diresmikan Museum Monumen Diponegoro oleh Presiden Soeharto di Yogyakarta. Museum ini berisi berbagai koleksi mata uang kuno, lukisan-lukisan, foto-foto, dan berbagai jenis senjata tradisional yang pernah digunakan oleh para pengikutnya.

Melalui surat keputusan Presiden RI. No. 087/TKA 973 pada tanggal 6 november 1973 Pemerintah menganugerahi gelar pahlawan Nasional kepada Pangeran Diponegoro. Semangatnya yang pantang menyerah dan jiwa patriotic yang konsisten dalam membela rakyat kecil atas penindasan Belanda merupakan sikap dan jiwa yang pantas untuk kita diteladani.


Itulah ke beberapa atau 22 Tokoh Pahlawan Nasional Perjuangan Indonesia yang dapat kang izal bagikan. ke 22 Tokoh Pahlawan Nasional Perjuangan Indonesia di atas adalah sebagian kecil saja, melainkan masih banyak lagi para tokoh pahlawan nasional yang dapat pembaca cari dari referensi lainnya. Kiranya, semoga tokoh-tokoh pahlawan tersebut dapat kita jadikan teladan dan menjadi pelajaran bagi kita agar lebih menghargai lagi jasa-jasa para pahlawan kita. Semoga arwah para tokoh pahlawan diterima oleh Tuhan Yang Maha Esa dan akan selalu dikenang sepanjang masa.

0 Response to "22 Tokoh Pahlawan Nasional Perjuangan Indonesia"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel