Pengalaman Mengunjungi Suku Baduy atau Orang Kanekes

Pengalaman Mengunjungi Suku Baduy atau Orang Kanekes - kangizal.com faizalhusaeni.com

Pengalaman Mengunjungi Suku Baduy atau Orang Kanekes - Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragamannya, mulai dari hasil alam melimpah sampai suku budaya yang beraneka ragam. Setiap daerah tentu memiliki ragam budaya yang unik dan ciri khas suku bangsanya masing-masing. Keanekaragaman tersebut disebabkan karena nenek moyang kita berasal dari suku yang berbeda. Salah satunya adalah suku yang ada di daerah Banten yakni suku Baduy. Banten merupakan sebuah propinsi yang berada paling barat di pulau Jawa. Suku Baduy adalah suku yang tinggal di daerah pegunungan Keundeng, tepatnya di desa Kanekes, Leuwidamar, kabupaten Lebak, provinsi Banten, Indonesia.

Masyarakat Baduy masih memegang adat istiadat yang sangat kental. Istilah Baduy sendiri diambil dari nama sungai Badui dan gunung Badui yang letaknya bagian utara Kanekes. Orang Baduy sendiri sebenarnya lebih senang disebut orang Kanekes, karena mereka tinggal di desa Kanekes. Kepercayaan yang dianut oleh suku Baduy adalah ‘sunda wiwitan” yang berawal dari kepercayaan pada arwah nenek moyang. Suku Baduy tidak terjamah oleh teknologi, seperti tidak adanya aliran listrik dan transportasi seperti motor dan lain sebagainya.

Saya bersama teman-teman melakukan perjalanan menuju Baduy untuk melakukan penelitian. Ini adalah pertama kalinya saya mengunjungi Baduy. Penelitian yang dilakukan yaitu selama tiga hari, sejak tanggal 11 sampai dengan tanggal 13 November 2016. Kami semua berangkat dari UPI kampus Serang sekitar pukul 08.00 wib dengan menggunakan bus. Kami tiba di terminal Ciboleger pada pukul 12.00 wib.

Sesampainya disana saya beserta teman-teman langsung berjalan menuju Gajeboh. Jalan yang dilalui yakni merupakan jalan setapak berbatu menanjak, karena memang suku Baduy ini adalah suku yang berdiam di daerah pegunungan, jadi selama perjalanan menuju kampung Gajeboh lebih banyak jalan yang menanjak. Pegunungan Keundeng adalah rumah bagi suku Baduy tepatnya terletak di desa kanekes, Leudamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Sepanjang perjalanan saya sesekali berpapasan dengan warga sekitar yang melempar senyumannya. Suku Baduy memang terkenal dengan keramah tamahannya.

Suku Baduy terbagi menjadi dua macam, yaitu suku Baduy luar dan suku Baduy dalam. Perbedaannya terletak dari gaya berpakaian, bentuk rumah, pemanfaatan sejumlah alat yang memiliki teknologi dan beberapa perbedaan lainnya. Gaya berpakaian suku Baduy luar sama halnya seperti orang-orang pada umumnya. yakni dengan memakai baju kaos, celana, sarung. Sedangkan suku Baduy dalam ciri khasnya yakni memakai pakaian berwarna putih dan ada juga yang berwarna hitam.

Bentuk rumah suku baduy dalam dan baduy luar pun berbeda dari segi desain sampai penggunaan bahan-bahannya, suku Baduy dalam tidak menggunakan sesuatu yang berhubungan dengan besi misalnya saja paku. Suku baduy dalam sama sekali tidak menggunakan penerangan yang berhubungan dengan listrik ketika malam hari, sedangkan suku Baduy luar sudah memakai teknologi lampu bertenaga matahari. Jadi pada malam hari suku Baduy dalam hanya memanfaatkan cahaya obor saja.

Mata pencaharian suku Baduy setiap harinya adalah bertani dan berkebun dengan memanfaatkan alam sekitar yang sudah disediakan oleh Sang Pencipta. Adapun dalam bercocok tanam mereka sudah memiliki waktu-waktu tertentu yang sudah ditetapkan oleh ketua adat setempat atau disebut juga Pu’un. dan untuk perempuannya biasanya bekerja di rumah masing-masing dengan membuat kain (menenun). Ada juga yang membuat kerajinan tangan berbahan dasar kulit kayu yang di bentuk menjadi tas, gelang, cincin, gantungan kunci dan lain sebagainya, ada pula yang mengolah air nira untuk kemudian diolah menjadi gula.

Sebagian kecil dari suku baduy sudah mengenal yang namanya berjualan. Suku baduy dalam kesehariannya menggunakan alat pembayaran bentuk uang. Sampai saat in, suku baduy masih melakukan upacara seba, yaitu upacara tanda kepatuhan kepada penguasa atau pemimpin daerah. Seba ini dilakukan setahun satu kali, yang mana dalam seba ini suku baduy memberikan hasil bumi kepada Gubernur Banten yang mereka anggap sebagai penguasa daerah.

Masyarakat Baduy dalam kesehariannya berpindah dari satu tempat ketempat lain dengan berjalan kaki (lalampah). Mereka berjalan kaki dengan menempuh jarak yang jauh dan tidak menggunakan alas kaki sama sekali, kondisi jalanan yang naik dan turun sudah biasa dilalui oleh masyarakat baduy. udara disana begitu sejuk sekalipun matahari sedang terik, sesekali sayup-sayup terdengar suara gemericik air sungai dan kicauan burung silih berganti. Sapaan demi sapaan saya terima ketika berpapasan dengan warga sekitar yang lewat,
“Rek kamana A?” (mau kemana mas).
Itulah pertanyaan yang sering saya dengar,
“Rek kaditu A/Teh” (mau kesana mas/mba).
Dengan penuh perjuangan dan keringat membasahi badan, akhirnya saya sampai di desa Gajeboh. dan disinilah tempat favorit para pengunjung beristirahat atau bahkan bermalam, karena di desa gajeboh ini cukup ramai dibandingkan desa lainnya ketika kita berkunjung ke baduy.

Di desa Ciboleger saya bersama teman-teman beristirahat dan bermalam di salah satu rumah warga. kebetulan rumah yang kami tempati ini berdekatan dengan sungai, jadi sangat memudahkan kita untuk mandi. Pemilik rumah ini bernama kang Yayat dan teh Sani, mereka adalah pasangan yang baru setahun menikah dan telah dikaruniai seorang putra bernama Satria. Pernikahan mereka adalah dijodohkan, karena memang sudah seperti itu tradisi yang berlaku di suku baduy.

Selama di rumah kang Yayat saya tidak mendapatkan informasi terlalu banyak, dikarenakan mereka baru belum lama menetap disana. Menjelang sore hari sambil memandangi derasnya aliran sungai, saya mendengar suara orang memainkan alat musik seperti suara suling. Dan ternyata  benar saja, ada seseorang yang sedang memainkan alat music yang menyerupai suling yang panjangnya sekitar sejengkal telapak tangan. Karena penasaran, saya pun langsung mendekati orang tersebut. dan beliau bernama Kasina, saya memanggilnya mbah Kasina. karena memang beliau sudah lanjut usia namun masih terlihat sehat bugar.
Saya: “Keur naon mbah?” (sedang apa mbah)
Mbah: “Keur diuk bae A” (lagi duduk aja mas)
Saya: “ Ngaranna saha mbah? (namanya siapa mbah)
Mbah: Kasina, mbah Kasini (Kasina, mbah Kasina)
Saya: “Eta mbah tadi keur niup naon?” (itu tadi mbah sedang meniup apa)
Mbah: “Ieu ngaranna plet” (ini namanya plet)
Saya: “Doang suling nya mbah?” (seperti suling yam bah)
Mbah: ”Lain. ieu plet” (bukan, ini plet)
Jadi plet itu salah satu alat musik khas baduy yang sekilas menyerupai suling bambu, namun bentuknya lebih pendek dari pada suling. memiliki enam buah lubang dan cara memainkannya dengan ditiup. Mbah Kasina ini berusia 96 tahun dan memiliki tiga orang anak, tempat tinggalnya dari rumah yang kami tempati hanya sekitar 50 meter.

Banyak cerita menarik yang saya dapatkan dari obrolan dengan mbah Kasina ini. salah satunya tentang pemerintahan yang berlaku di baduy, masyarakat baduy dipimpin oleh kepala desa yang biasa disebut jaro pamarentah dan dipimpin dengan pimpinan tertinggi yang disebut Pu’un. Pu’un ini mampu mengatur masyarakat baduy, mulai dari peraturan adat istiadat, penentuan waktu penanaman padi dan lain sebagainya. Pergantian Pu’un jatuh secara turun temurun keluarganya.

Hari keduanya saya beserta teman-teman menuju desa Cibeo. Desa Cibeo ini merupakan sudah termasuk ke dalam suku baduy dalam. Perjalanan dari desa Gajeboh menuju desa Cibeo memakan waktu kurang lebih 4 jam. Kami berangkat pada pukul 8 dan sampai di desa Cibeo pukul 12. Jalanan yang dilalui lebih banyak menanjak karena memang desa Cibeo berada di atas gunung. Memasuki hutan lebat, menyebrangi jembatan dan menaiki satu tanjakkan yang terkenal akan kecuramannya, yaitu tanjakan cinta. Tanjakkan ini begitu curam dan penuh perjuangan dalam melewatinya, kebetulan cuaca pada hari itu begitu cerah dan jalanannya tidak licin.

Sesampainya di desa Cibeo saya mengamati sesuatu yang unik yaitu ternyata warga baduy dalam sudah terjamah dengan produk-produk yang biasa dijumpai, seperti mie instan, air mineral kemasan dan makanan ringan lainnya, persepsi saya selama ini terbantahkan dengan melihat langsung penduduk baduy yang menjajakan barang dagangannya seperti itu. Awalnya saya berpikir, mungkin suku baduy tidak tahu bahkan tidak menjual hal semacam itu, tapi ternyata pada kenyataanya mereka sudah mengenal yang namanya berjualan. Ada salah seorang warga baduy yang sedang memasak mie instan menggunakan tungku masak, ada yang sedang menjajakan pernak-pernik kerajinan tangan gelang, cincin dan tas koja, ada pula yang sedang menjajakan kain khas baduy, kaos, dan sarung, ada yang sedang menjajakan madu.

Saya pun berbincang dengan salah satu warga baduy yang bernama kang Yadi, beliau sedang menjajakan pernak-pernik dan madu. Kang Yadi ini mengenakan pakai berwarna putih khas baduy dan memakai ikat kepala berwarna putih. Banyak hal yang saya tanyakan kepada beliau, mulai dari perbedaan suku baduy luar dan baduy dalam, adat istiadat yang berlaku, kegiatan keseharian, pantangan yang tidak boleh dilanggar, dan lain sebagainya. Ternyata selama berada di Baduy dalam kita tidak diperkenankan untuk memotret, dan apabila melanggarnya konon alat foto tersebut akan rusak. Rumah yang ada di baduy dalam tidak menggunakan bahan besi sama sekali, yang di gunakan untuk menyambungkannya menggunakan rotan.

Pada pukul 14.00 wib Saya bersama teman-teman kembali ke desa Gajeboh. Pegal dikaki masih terasa dan saya harus memaksakannya agar mampu berjalan. Selama perjalanan kembali ke desa Gajeboh, tidak berapa lama hujan turun, dan saya memutuskan untuk berteduh disalah satu rumah yang sudah lama ditinggalkan penghuninya, cukup lama saya berteduh di rumah tersebut, karena hari semakin sore dan meskipun masih turun hujan, saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. medan yang harus dilalui berbeda ketika jalanan basah, jalanan menjadi licin dan perlu hati-hati dalam berjalan, ditambah lagi dengan kondisi jalan yang lebih banyak menurun. Untung saja saya sudah melewati tanjakan cinta sebelum turun hujan, karena tidak terbayangkan rasanya bila menuruninya dengan kondisi jalanan yang basah, pasti sangat licin.

Sekitar pukul 16.45 wib saya tiba di rumahnya kang Yayat dengan kondisi badan yang basah kuyup karena kehujanan. Saya pun bergegas menuju sungai untuk kemudian mandi bersama teman laki-laki yang lainnya.

Menurut pengamatan dan percakapan dengan warga Baduy, tenyata mereka ramah dan ketika ditanya jawabannya pun sangat simple dan tidak panjang lebar. Mata pencaharian suku baduy sangat beragam, diantaranya bercocok tanam, menenun, membuat kerajinan tangan, mengolah gula, mencari madu dan ada sebagian kecil yang berdagang, bahkan suku Baduy dalam pun sudah mengenal yang namanya berdagang, alat pembayaran disana sudah menggunakan uang dan ada juga suku Baduy dalam yang menawarkan jasanya sebagai pemandu perjalanan.

Banyak pengalaman berharga yang saya dapatkan pada saat berada di Baduy, meskipun baduy dapat dikatakan daerah yang terisolir. Namun mereka sudah mengenal banyak hal mengenai dunia luar yang mungkin saja hanya beberapa orang saja yang sudah pernah keluar Baduy. Mereka belajar dengan cara mengamati dari orang-orang yang datang dari luar, mereka melihat dan pada akhirnya mereka belajar dengan sendirinya tanpa perlu mengenal yang namanya sekolah. Bukan tidak mungkin suatu saat nanti suku Baduy akan menerima dunia luar, entah itu penggunaan energy listrik atau bahkan pemanfaatan teknologi lainnya dalam membantu aktifitas sehari-hari.

0 Response to "Pengalaman Mengunjungi Suku Baduy atau Orang Kanekes"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel